BAB I
PENDAHULUAN
Upacara tradisi merupakan bagian dari adat istiadat yang merupakan salah satu upaya masyarakat Jawa untuk menjaga keharmonisan dengan alam, dunia roh, dan sesamanya (Danandjaja, 1997). Sebagai perwujudan dari itu, Keraton Kasunanan Surakarta sekarang ini masih memiliki beranekaragam hasil kebudayaan. Hal tersebut masih tercermin dengan dilakukannya beberapa upacara tradisional, di antaranya upacara jamasan pusaka, sekaten, upacara labuhan, upacara garebeg besar, sesaji mahesa, lawung, dan lain sebagainya. Upacara tradisional tersebut masih terpelihara dengan baik.
Keraton Kasunanan Surakarta merupakan sebuah kerajaan Islam. Dalam agama Islam, Nabi Muhammad SAW merupakan Rasul pembawa ajaran Islam di muka bumi sehingga hari kelahiran beliau diperingati oleh umat Islam, karena Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa kebenaran. Selain itu, dalam ajaran Islam disebutkan bahwa orang harus selalu bersyukur atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh Tuhan. Oleh sebab itu, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, Keraton Kasunanan Surakarta mengemasnya dalam bentuk upacara tradisional. Salah satu budaya tradisional yang hingga saat ini tetap dipertahankan keberadaannya adalah Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. Pada dasarnya upacara tradisi ini merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW. Upacara tersebut sebagai wujud rasa syukur tersebut diadakan setiap tahun sekali dalam penyelenggaraan Sekaten. Perayaan Sekaten ini diadakan setiap 12 Mulud atau 12 Rabiul Awal (Rahmawati, 2002).
Pada zaman dahulu, orang Jawa menyukai gamelan maka pada saat hari raya Islam itu di dalam masjid diadakan penabuhan gamelan agar orang-orang menjadi tertarik. Jika masyarakat sudah berkumpul lalu diberi pelajaran tentang agama Islam. Untuk keperluan itu para wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamai Kiai Sekati. Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh wali lainnya yaitu pada hari lahir Nabi Muhammad SAW dalam masjid dipukul gamelan. Ternyata banyak orang datang ke masjid untuk mendengarkan gamelan Sekaten (Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari) yang dibunyikan mulai pada tanggal 5 Rabiul Awal pukul empat sore di Pendopo Masjid Agung. Pada puncak acaranya tepat tanggal 12 Rabiul Awal diadakan Garebeg yaitu upacara selamatan dengan dikeluarkannya gunungan dari keraton. Dari sinilah raja mengeluarkan sepasang gunungan (kakung dan putri) yang bermakna keselamatan dan pembawa berkah.
Kajian mengenai cerita rakyat dari berbagai daerah memang sudah sering dilakukan, tetapi setiap masyarakat memiliki keanekaragaman cerita rakyat sendiri yang berbeda dengan cerita rakyat masyarakat lainnya. Kajian Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta ini dilakukan untuk menggali dan mendokumentasikan keanekaragaman cerita rakyat yang dimiliki masyarakat Indonesia pada umumnya dan cerita rakyat daerah untuk memperkaya kebudayaan nasional, sampai kapan pun kajian cerita rakyat dari berbagai daerah di tanah air Indonesia akan tetap dilakukan. Upaya pelestarian budaya ini diharapkan dapat menimbulkan rasa bangga dan memiliki budaya nasional, sehingga pewarisan nilai-nilai luhur yang terdapat dalam cerita tersebut dapat menanamkan nilai budi pekerti sebagai penyaring budaya asing yang tidak sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Kajian ini dilakukan sebagai upaya untuk mewariskan karya-karya para leluhur kepada para generasi baru sehingga dapat melestarikan dan mengembangkan khasanah kehidupan sastra daerah di tengah-tengah persaingan budaya-budaya lain. Sebab sastra daerah merupakan akar budaya bangsa, cermin jati diri bangsa dan sekaligus merupakan aset bangsa. Oleh karenanya, cerita rakyat tersebut perlu adanya penyebarluasan serta pendokumentasian agar kemurnian cerita aslinya tidak punah.
Bangsa yang tinggi adalah bangsa yang menghargai karya-karya leluhur yang diwariskan kepadanya. Sebagai wujud atas penghargaan tersebut yaitu dengan cara melestarikannya. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk melestarikan warisan itu, di antaranya adalah dengan cara mengajarkan kepada generasi-generasi baru.
Apalagi fenomena yang terjadi, bahwa bentuk folklor yang merupakan kekayaan budaya nasional belum tergali sepenuhnya di tanah air tercinta ini. Upacara Tradisi Sekaten mempunyai folkor yang sarat dengan nilai. Namun, sebagian besar masyarakat Surakarta sebagai pemilik folklor tidak mengetahui cerita rakyat yang melatarbelakangi Upacara Tradisi Sekaten tersebut. Penyebarluasan cerita rakyat Upacara Tradisi Sekaten ini sangat penting untuk menjaga agar tidak punah dan mengajarkan kepada generasi muda merupakan cara yang tepat. Agar mengetahui bahwa daerah Surakarta memiliki kekayaan budaya yang dapat digali seperti Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta yang memiliki cerita rakyat yang melatarbelakangi upacara tersebut.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Upacara Tradisi Sekaten
G.P.H. Puger (2002: 1) menjelaskan tentang asal mula dan maksud perayaan yang diadakan tiap-tiap tahun baik di Surakarta maupun di Yogyakarta. Asal mula Sekaten dimulai pada zaman Demak, zaman mulainya kerajaan Islam di tanah Jawa. Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya dalam menyiarkan agama Islam. Karena orang Jawa pada waktu itu menyukai gamelan maka pada hari raya Islam yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad SAW di Masjid Agung dipukul gamelan sehingga orang berduyun-duyun datang di halaman masjid untuk mendengarkan pidato-pidato tentang agama Islam.
Menurut Supanto (1982: 6), upacara tradisional sebagai pranata sosial penuh dengan simbol-simbol yang berperanan sebagai alat komunikasi antarsesama warga masyarakat dan juga merupakan penghubung antara dunia nyata dengan dunia gaib. Bagi para warga yang ikut berperan serta dalam penyelenggaraan upacara tradisional, unsur-unsur yang berasal dari dunia gaib menjadi tampak nyata melalui pemahamannya terhadap simbol-simbol tersebut. Upacara tradisional biasanya diadakan dalam waktu-waktu tertentu. Ini berarti menyampaikan pesan yang mengandung nilai-nilai kehidupan itu harus diulang-ulang terus, demi terjaminnya kepatuhan para warga masyarakat terhadap pranata-pranata sosial yang berlaku.
Salah satu bentuk tradisi yang masih dipertahankan ialah Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu “syahadatain” yaitu kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain juga berasal dari kata 1) Sahutain : menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng; 2) Sakhatain : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena watak tersebut sumber kerusakan; 3) Sakhotain : menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan; 4) Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk; dan 5) Sekat : batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan (Handipaningrat, tt : 3).
B. Nilai Simbolis
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta (2003: 654), simbol atau lambang ialah sesuatu seperti tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya yang mengatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, misalnya warna putih ialah lambang kesucian dan gambar padi sebagai kemakmuran.
The Liang Gie (dalam Sutarjo, 1998: 8), mendefinisikan nilai sebagai suatu cita-cita, dan cita-cita mutlak yang terkenal dalam filsafat adalah hal yang benar, hal yang baik dan hal yang indah. Pengertian nilai secara sempit sering diasosiasikan sebagai etika tradisisonal yang ruang lingkupnya berkisar pada kesejajaran antara yang baik dan yang buruk. Nilai adalah sesuatu yang dapat digunakan sebagai tolok ukur atau pedoman, tuntutan yang baik dalam kehidupan masyarakat. Nilai berfungsi sebagai pengarah dan pendorong seseorang dalam melakukan perbuatan. Dengan demikian, nilai dapat menimbulkan tekad bagi yang bersangkutan yang diwujudkan dalam perbuatan sehari-hari.
Simbolisme sangat menonjol peranannya dalam tradisi atau adat istiadat. Simbolisme ini terlihat dalam upacara-upacara adat yang merupakan warisan turun-temurun dari generasi yang tua ke generasi berikutnya yang lebih muda. Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolis yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 1987 : 10). Sejalan dengan pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (Moeliono,1999 : 630), bahwa “simbol atau lambang ialah 1) sesuatu seperti tanda (lukisan, lencana, dan sebagainya) yang mengatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, misalnya gambar tunas kelapa lambang pramuka, warna biru lambang kesetiaan; dan 2) simbol bisa berarti tanda pengenal tetap yang menyatakan sifat, keadaan, dan sebagainya, seperti peci putih dan serban ialah lambang haji.”
Segala bentuk dan macam kegiatan simbolik dalam masyarakat tradisional pada dasarnya upaya pendekatan manusia kepada Tuhannya, yang menciptakan, menurunkannya ke dunia, memelihara hidup, dan menentukan kematian manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa simbolisme dalam masyarakat tradisional di samping membawakan pesan-pesan kepada generasi berikutnya juga selalu dilaksanakan dalam kaitannya dalam religi (Herusatoto, 1987 : 30-31). Unsur unsur dari kebudayaan yang paling menonjolkan sistem klasifikasi simbolik orang Jawa menurut Koentjaraningrat adalah bahasa dan komunikasi, kesenian dan kesusasteraan, keyakinan keagamaan, ritual, ilmu gaib serta beberapa pranata dalam organisasi sosialnya. (1984: 428).
C. Globalisasi
Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya. Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain-lain akan mempengaruhi nilai-nilai nasionalisme terhadap bangsa.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Cerita Rakyat yang Melatarbelakangi Upacara Tradisi Sekaten
Untuk mengetahui asal mula sekaten yang tiap tahun diadakan di Keraton Kasunanan Surakarta maka harus memulainya dari zaman Demak. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam yang di Jawa yang berdiri setelah Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Keruntuhan Majapahit diperingati dengan candrasengkala ”Sirna Hilang Kertaning Bumi”. Berakhirnya Kerajaan Majapahit berarti berakhir pula Kerajaan Hindu di Jawa, di bawah pemerintahan Prabu Brawijaya V. Raja Demak yang pertama adalah Raden Patah yang bergelar Sultan Bintara.
Raden Patah akhirnya mengadakan suatu pertemuan dengan para wali yang berjumlah sembilan, yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmad), Sunan Gresik (Malik Ibrahim), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Bonang (Makdum Ibrahim), Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati. Untuk membahas cara menyiarkan Islam di tanah Jawa, Sunan Kalijaga mempunyai usul tentang penyiaran agama Islam agar diterima oleh masyarakat yang sejak dahulu memeluk agama Hindu. Usul Sunan Kalijaga tersebut adalah dengan membiarkan tetap dilaksanakannya adat atau tata cara dalam agama Hindu, tetapi dimasuki pelajaran Islam.
Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh wali yang lainnya dan Raden Patah, yaitu pada hari lahir Nabi Muhamad yaitu pada 12 Mulud, dalam masjid dipukul gamelan. Tanggal 12 Mulud selain merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW juga merupakan hari wafat beliau. Ternyata banyak orang yang berduyun-duyun datang ke masjid untuk mendengarkan bunyi gamelan. Orang-orang tersebut datang ke masjid walaupun rumahnya jauh, sehingga mereka bermalam di alun-alun atau sekitar masjid.
Pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut, selain rakyat, para bupati pesisir juga datang ke kota kerajaan untuk memberi sembah pada raja. Mereka datang beberapa hari sebelum tanggal 12 Mulud dan membuat rumah di alun-alun untuk bermalam. Pada tanggal 12 Mulud tersebut, bupati menghadap raja dan kemudian menggiring raja ke masjid. Karena banyaknya orang yang menggiring raja tersebut, timbul perkataan Garebeg yang berasal dari kata anggrubyung yang berarti menggiring.
Orang-orang yang datang di halaman masjid disuruh untuk mendengarkan pidato-pidato tentang ajaran agama Islam yang mudah-mudah dahulu. Pertama, mereka diberi tahu maksudnya syahadat dan bagaimana bunyinya. Dari itulah timbul kata sekaten yang berasal dari bahasa Arab syahadatain. Kalimat syahadat merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat syahadat itu juga ditulis di atas pintu gerbang masjid. Karena banyak orang yang datang berduyun-duyun ke masjid dan banyak yang bermalam maka banyak pula orang yang berjualan di sekitar masjid dan alun-alun
B. Prosesi dan Nilai Simbolis dalam Upacara Tradisi Sekaten
Perayaan sekaten dimulai pada tanggal 5 Rabiul Awal dan berakhir dengan Garebeg Mulud tanggal 12 Rabiul Awal yang ditandai dengan keluarnya gunungan. Gunungan berasal dari kata gunung, terdiri dari berbagai jenis makanan dan sayuran yang diatur bersusun meninggi menyerupai gunung.
Pada hari pertama perayaan sekaten tanggal 5 Rabiul Awal, diawali dengan dikeluarkannya dua buah gamelan yang merupakan peninggalan zaman Demak dari dalam keraton. Dua buah gamelan itu dibawa dari dalam keraton lewat alun-alun kemudian dibawa ke Masjid Agung. Sebelum dikeluarkan dari keraton diadakan selamatan dengan diberi doa terlebih dahulu dan diberi sesajen. Setelah diadakan serah terima dari utusan keraton kepada penghulu masjid, gamelan ditempatkan di Bangsal Pradonggo di selatan dan utara halaman muka Masjid Agung Surakarta. Gamelan mulai dibunyikan ketika sudah ada utusan dari keraton yang memerintahkan untuk membunyikan gamelan, yaitu pada pukul 16.00. Dua buah gamelan tersebut bernama Kiai Guntur Madu, yaitu berada di sebelah selatan yang melambangkan syahadat tauhid. Kiai Guntur Madu merupakan peninggalan Pakubuwana IV, yaitu tahun 1718 Saka yang ditandai dengan sengkalan Naga Raja Nitih Tunggal. Gamelan yang lainnya bernama Kiai Guntur Sari, berada di sebelah utara dan melambangkan syahadat Rosul. Kiai Guntur Sari merupakan peninggalan Sultan Agung Hanyokusumo pada tahun 1566 Saka. Selama perayaan sekaten selama satu minggu, Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari ditabuh secara bergantian.
Pada tanggal 5 Rabiul Awal tersebut, sebagai awal perayaan sekaten, yang lebih dulu ditabuh adalah Kiai Guntur Madu dengan memperdengarkan gending Rambu. Rambu berasal dari bahasa Arab Robbuna yang berarti Allah Tuhanku. Rambu mengisyaratkan gending yang ditabuh khusus untuk penghormatan kepada Tuhan. Kiai Guntur Sari memperdengarkan gending Rangkung yang berasal dari bahasa Arab Roukhun yang berarti jiwa besar atau jiwa yang agung. Rangkung menurut etimologi atau lebih tepatnya kerata basa atau jarwa dhasaknya berasal dari kata ‘barang kakung’ yang menginterpretasikan pada seorang Nabi, Khalifah, dan Raja-Raja Mataram yang kesemuanya laki-laki. Menurut G.P.H. Puger berpendapat bahwa gending-gending yang pertama dibunyikan, Rambu dan Rangkung adalah nama dua jin Islam yang berbincang dan sangat setuju atas usaha yang dilakukan Walisanga dalam penyebaran agama Islam melalui media gamelan.
Gamelan sekaten yang mulai dibunyikan pada tanggal 5 Rabiul Awal pukul 16.00 merupakan saat yang paling ditunggu-tunggu oleh banyak orang sehingga masyarakat mulai berbondong-bondong datang ke Masjid Agung untuk mendengarkan gamelan dipukul pertama kalinya. Menurut kepercayaan masyarakat, barang siapa yang memakan sirih tepat pada saat gamelan sekaten berbunyi untuk pertama kalinya akan awet muda sehingga banyak orang yang berjualan sirih pada perayaan sekaten. Namun G.P.H. Puger menanggapi mitos tersebut dengan pemikiran yang logis. Diungkapkannya bahwa pernyataan mitos yang sangat dipercaya masyarakat tersebut menandakan pada zaman dahulu sudah dikenal adanya ilmu kesehatan. Terbukti bahwa masyarakat dianjurkan makan sirih yang mempunyai banyak fungsi untuk kesehatan tubuh karena kandungan sirih tersebut dapat mengobati berbagai macam penyakit, menyehatkan gigi, berfungsi dalam pencernaan, dan akan menyegarkan badan. Selain itu, jika musim sekaten tiba di areal halaman Masjid Agung akan dipenuhi oleh penjual yang ikut meramaikan perayaan sekaten dengan menjual berbagai makanan ataupun berbagai barang khas dari sekaten, seperti misal telur asin, jenang, sirih, pecut, dan mainan anak-anak.
Kemudian dua buah gamelan tersebut dibunyikan secara bergantian tiap harinya selama perayaan sekaten. Gamelan tersebut tiap pagi mulai dibunyikan pada pukul sembilan, waktu Ashar dan Dzuhur berhenti, kemudian mulai lagi dan berhenti lagi waktu Maghrib dan Isya. Setelah Isya dibunyikan lagi sampai pukul 24.00. Bila perayaan sekaten jatuh pada hari Jumat, gamelan tidak dibunyikan mulai Maghrib sampai siang, karena hari Jumat merupakan hari mulia bagi orang Islam. Gamelan tersebut berhenti pada waktu-waktu sholat karena memberikan kesempatan kepada penabuh gamelan maupun bagi masyarakat yang mendengarkannya untuk menjalankan kewajiban sholat sehingga fungsi perayaan sekaten sebagai syiar Islam tetap terpelihara.
Setelah perayaan sekaten berlangsung tujuh hari maka tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal, yaitu hari lahir Nabi Muhammad SAW diadakan upacara Garebeg yaitu upacara selamatan dengan dikeluarkannya gunungan dari keraton. Gunungan dibuat beberapa hari sebelum perayaan Garebeg Mulud oleh abdi dalem khusus yang ditunjuk oleh sinuhun. Gunungan tersebut dikeluarkan dari keraton menuju Masjid Agung. Dari sinilah raja mengeluarkan sepasang gunungan pada waktu perayaan sekaten, yaitu gunungan kakung dan gunungan putri.
Doa yang dipanjatkan kepada Allah sebelum gunungan itu diperebutkan oleh masyarakat, dipimpin oleh penghulu keraton di dalam masjid. Adapun doa yang dipanjatkan dalam upacara pada gunungan itu intinya untuk memohon keselamatan pada diri Sinuhun, istri, dan para putranya, pejabat, serta rakyat semuanya sehingga dapat menjalani hidup dengan aman, tenteram, nyaman, sejahtera, dan bahagia di dalam perlindungan negara yang adil dan makmur.
Pada perayaan sekaten Sinuhun berkenan datang ke Masjid Agung untuk ikut berdoa bersama atas gunungan tersebut sebagai rasa syukur Sinuhun kepada Allah SWT. Setelah diberi doa oleh penghulu keraton dan juga disaksikan oleh Sinuhun, gunungan tersebut dibagikan kepada semua yang hadir, tidak ketinggalan dikirimkan kepada Sinuhun, para sentana dalem, dan para punggawa kerajaan. Kemudian gunungan tersebut dibawa keluar dari Masjid Agung untuk diberikan kepada rakyat. Karena banyak rakyat yang ingin mendapatkan gunungan itu maka mereka memperebutkan gunungan itu dengan dirayah. Hal itu terjadi karena telah menjadi kepercayaan masyarakat bahwa isi gunungan tersebut dapat mendatangkan berkah bagi siapa yang memperolehnya. Masyarakat yang datang berasal dari berbagai daerah bahkan dari luar Surakarta, seperti Klaten, Sukoharjo, Tawangmangu, Kartasura, Boyolali, Sragen, Karanganyar, dan kebanyakan adalah orang tua bahkan lanjut usia. Masyarakat yang ikut meramaikan sekaten adalah orang tua atau sepuh dari berbagai daerah yang datang untuk rayahan gunungan sekaten. Antusias yang masih begitu besar itu menandakan bahwa Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta masih banyak masyarakat pendukungnya. Untuk meramaikannya, satu bulan sebelum perayaan sekaten disambut dengan keramaian berbagai sektor dagang yang dipusatkan di halaman Masjid Agung Surakarta. Masyarakat dari berbagai daerah memanfaatkan pula momentum sekaten untuk berjualan yang merupakan ladang hangat dalam sektor ekonomi.
Dalam Upacara Tradisi Sekaten terdapat gunungan yang merupakan simbol atau lambang yang bermakna positif. Berbagai jenis makanan yang disiapkan dalam gunungan tersebut mengandung nilai-nilai luhur dan harapan yang baik bagi masyarakat pendukungnya. Terdapat 22 nilai simbolis yang terkandung dalam setiap makanan atau sesaji yang terdapat dalam gunungan, canthangbalung, sirih, dan pecut yang terdapat pada Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta.
Gunungan kakung; gunungan bermakna kesuburan, gunungan kakung melambangkan sifat baik, sedangkan gunungan putri melambangkan sifat buruk. Dua sifat ini bila berdiri sendiri akan menimbulkan sifat perusak sehingga dua sifat ini harus disatukan. Bendera merah putih; bendera ini ditempatkan pada ujung gunungan, berjumlah lima buah sebagai lambang sebuah negara atau kerajaan. Warna merah bermakna semangat atau kebenaran sedangkan warna putih berarti suci. Warna merah putih mengingatkan akan Kerajaan Majapahit dengan istilah gula klapa yang melambangkan bahwa orang harus mempunyai sifat dan semangat keberanian serta kesucian.
Cakra; cakra sebagai puncak dari pangkal berdirinya gunungan mempunyai makna gaman atau pusaka milik dari Prabu Kresna yang mempunyai kekuatan dahsyat dalam menegakkan keutamaan. Selain itu cakra sebagai simbol dari hati yang merupakan petunjuk dan pemimpin dalam kehidupan. Perjalanan cakra adalah berputar yang bermakna bahwa roda kehidupan manusia itu selalu berputar, manusia harus selalu ingat kepada Tuhan dalam keadaan senang maupun susah. Wapen; wapen merupakan simbol yang digunakan sebagai lambang. Wapen dalam gunungan yang dimaksud adalah petunjuk bagi keselamatan dan kekuasaan dari Raja Surakarta yang bertahta.
Kampuh; kampuh adalah kain berwarna merah putih yang menutupi jodhang (tempat makanan) yang bermakna kesusilaan. Kampuh dibuat sebagus mungkin yang membuktikan kepribadian, pepatah Jawa mengatakan ajining salira saka busana yang berarti dihormatinya seseorang karena pakaiannya. Sandang, yang berarti pakaian yang dipakai oleh manusia. Pakaian melambangkan kenyataan hidup (senang-susah, beja-cilaka).
Entho-entho; makanan berbentuk bulat telur yang terbuat dari tepung beras ketan yang dikeringkan hingga keras, kemudian digoreng. Hal ini bermakna keteguhan hati dalam menghadapi masalah kehidupan dunia. Telur asin; melambangkan amal, adapun makna lain bahwa terbagi dua bagian, bagian kuning melambangkan laki-laki, dan bagian putih adalah perempuan. Kemudian keduanya bersatu dan terjadi manusia baru. Nasi; melambangkan kemakmuran dari sebuah kerajaan. Bahan perlengkapan dalam gunungan kakung seperti tebu, cabe, daun pisang, terong, wortel, timun, kacang panjang dan daging yang kesemuanya merupakan hasil dari bumi yang dinikmati manusia. Selain itu, juga dami (batang padi), jodhang, sujen, peniti, jarum bundel, dan samir jene. Bahan-bahan hasil bumi tersebut merupakan lambang dari kesuburan bumi.
Gunungan putri; bentuk gunungan putri dihubungkan dengan yoni atau alat vital perempuan. Gunungan putri melambangkan putri sejati yang menggambarkan bahwa seorang wanita harus memiliki badan dan pikiran yang dingin sehingga dia mempunyai penangkal untuk menahan isu-isu yang datang dari luar, baik yang menjelek-jelekkan dirinya maupun keluarganya dan dapat menyimpan rahasia manusia atau keluarganya. Eter; terbuat dari seng berbentuk jantung manusia atau bunga pisang (tuntut) yang bermakna sebagai api yang menyala, yaitu semangat hidup yang menyala terus sebagaimana modang (dalam batik menggambarkan nyala api atau uriping latu). Eter juga berwujud jantung yang merupakan pusat kebatinan atau rohani, hal ini ada pertimbangan kewajiban lahir batin atau dengan Allah dan sesama manusia.
Bunga sebagai pengharum; mempunyai dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu makna lahiriah dapat mendekatkan atau mendatangkan berkah bagi yang cocok dan menjauhkan bagi yang tidak cocok, sedangkan makna batiniah yaitu kemuliaan atau keharuman jati diri manusia yang diperoleh dengan amal yang baik. Jajan; terdiri dari jadah, wajik, dan jenang sebagai isi dari jodhang yang menggambarkan hasil karya wanita dalam dapur atau rumah tangga. Uang logam; bermakna sebagai sarana memperoleh kebutuhan lahiriah manusia dalam hidup di dunia, dan bermakna batiniah sebagai simbol cobaan atau ujian hidup manusia yang dapat menggunakan dan mendatangkan keresahan bagi yang dapat menggunakan dan mendatangkan keresahan bagi yang tidak dapat menggunakan. Gunungan anakan; bermakna bahwa anak dari sebuah rumah tangga yang sudah tentu diharapkan oleh orang tuanya, anak dapat menyambung sejarah keluarga atau dapat mikul dhuwur mendhem jero, artinya menjunjung harkat dan martabat orang tua dengan cara menjaga nama baik orang tua atau dalam agama Islam dikenal dengan istilah anak sholeh yang berbakti dan mau mendoakan orang tuanya dilambangkan dengan tuntut atau eter kecil.
Ancak cantaka; merupakan sedekah para abdi dalem dan kerabat keraton yang dikeluarkan oleh raja karena mereka ada di dalam lindungan-Nya. Melambangkan kehidupan yang makmur tercukupi kebutuhan jasmani dan rohani. Terbinanya kehidupan beragama dan tersedianya kebutuhan di dunia yaitu sandang, pangan, dan papan. Sega uduk atau nasi gurih dengan perlengkapan daging ayam (ingkung), kedelai, dan pisang raja, maksudnya sebagai lambang kehidupan yang enak atau baik, sedangkan yang dituju adalah untuk para Nabi dan wali.
Sega janganan atau nasi sayuran; Melambangkan kehidupan tercukupi (duniawi), sedangkan yang dituju adalah para roh dan danyang. Dalam kejawen dikenal dengan kiblat papat lima pancer yang mempengaruhi kehidupan manusia. Sega asahan; bermakna untuk menyucikan lahir dan batin. Buah-buahan atau jajan pasar; bermakna sebagai penolak balak atau menyingkirkan segala sumber bahaya atau bencana yang akan terjadi. Sirih; menurut kepercayaan masyarakat, barang siapa yang memakan sirih tepat pada saat gamelan sekaten berbunyi untuk pertama kalinya akan awet muda. Oleh karena itu, banyak orang yang berjualan sirih pada perayaan sekaten. Canthangbalung; adalah abdi dalem yang bertugas membuat orang lain menjadi gembira. Disebut Canthangbalung karena mereka membawa kepyak dari tulang yang diselipkan pada jari-jari dan selalu dibunyikan dengan irama “crek, crek, crek”.
C. Ketahanan Tradisi Sekaten dalam Globalisasi
Memang harus diakui bahwa ancamanan globalisasi tak bisa dihindari. Ketahanan budaya ini tentu harus selalu kita artikan secara dinamis, di mana unsur-unsur kebudayaan dari luar ikut memperkokoh unsur-unsur kebudayaan lokal. Ketahanan budaya, pada dasarnya kita berbicara pula mengenai pelestariannya dan pengembangannya secara dinamis dengan upaya-upaya yang lebih khusus.
Dalam era globalisasi tradisi sekaten masih tetap kental. Nilai-nilai simbolis dalam perayaan tersebut tidak mengalami perubahan yang begitu berarti. Masih banyak masyarakat yang selalu datang dalam tradisi sekaten. Tetapi bagi generasi muda sekaten tak sekedar ajang pasar malam tahunan yang diadakan di lingkungan masjid agung Surakarta dan Alun-Alun Utara Keraton Surakarta. Bahkan generasi muda sekarang kurang begitu memahami makna simbolis dari tradisi Sekaten.
Padahal banyak sekali nilai-nilai budi pekerti yang bisa kita ambil dari upacara tradisi sekaten ini. Ini dikarenakan cerita rakyat Upacara Tradisi Sekaten yang berkembang dalam masyarakat Surakarta ini tidak dimasukkan dalam bahan pembelajaran di sekolah sekolah yang ada di Surakarta dan sekitarnya. Sehingga anak-anak sekarang kurang begitu paham dari makna simbolis upacara tradisi sekaten.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Cerita rakyat yang melatarbelakangi diadakannya Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta dimulai dengan berdirinya kerajaan Islam yang pertama, yaitu Demak, dengan Raja Islam yang pertama, Raden Patah. Beliau berusaha menyinari seluruh pelosok negeri dengan agama Islam. Bersama dengan Walisanga, Raden Patah mendirikan Masjid Agung di Demak. Kemudian masjid tersebut digunakan sebagai sarana dakwah dan penyebarluasan Islam, dengan memadukan budaya setempat. Dibuatlah suatu momentum bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, di dalam masjid diadakan dakwah dengan menggunakan media gamelan sehingga terjadilah suatu keramaian, masyarakat banyak yang datang dan sesampai di masjid mereka di- syahadat-kan. Banyak masyarakat yang tertarik sehingga kemudian lama-lama momentum ini disebut dengan sahadatan atau sekaten.
Prosesi Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta dilaksanakan bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, tanggal 5 sampai dengan 12 Rabiul Awal.. Pada hari pertama perayaan sekaten tanggal 5 Rabiul Awal, diawali dengan dikeluarkannya dua buah gamelan yang merupakan peninggalan zaman Demak dari dalam keraton. Dua buah gamelan itu dibawa dari dalam keraton lewat alun-alun kemudian dibawa ke Masjid Agung. Sebelum dikeluarkan dari keraton diadakan selamatan dengan diberi doa terlebih dahulu dan diberi sesajen. Setelah diadakan serah terima dari utusan keraton kepada penghulu masjid, gamelan ditempatkan di Bangsal Pradonggo di selatan dan utara halaman muka Masjid Agung Surakarta. Gamelan mulai dibunyikan ketika sudah ada utusan dari keraton yang memerintahkan untuk membunyikan gamelan, yaitu pada pukul 16.00. Dua buah gamelan tersebut bernama Kiai Guntur Madu, yaitu berada di sebelah selatan yang melambangkan syahadat tauhid. Kiai Guntur Sari di sebelah utara Pendopo Masjid Agung yang melambangkan syahadat Rosul. Gamelan sekaten yang mulai dibunyikan pada tanggal 5 Rabiul Awal pukul 16.00 merupakan saat yang paling ditunggu-tunggu oleh banyak orang sehingga masyarakat mulai berbondong-bondong datang ke Masjid Agung untuk mendengarkan gamelan dipukul pertama kalinya. Kemudian dua buah gamelan tersebut dibunyikan secara bergantian tiap harinya selama perayaan sekaten. Gamelan tersebut tiap pagi mulai dibunyikan pada pukul sembilan, waktu Ashar dan Dzuhur berhenti, kemudian mulai lagi dan berhenti lagi waktu Maghrib dan Isya. Setelah Isya dibunyikan lagi sampai pukul 24.00. Setelah perayaan sekaten berlangsung tujuh hari maka tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal, yaitu hari lahir Nabi Muhammad SAW diadakan upacara Garebeg yaitu upacara selamatan dengan dikeluarkannya gunungan dari keratin.
Nilai simbolis yang telah diteliti terdiri dari 22 nilai yaitu 1) adanya hidup itu harus ada bapak dan ibu yang semuanya pada dasarnya merupakan kehendak Tuhan, disimbolkan dengan gunungan kakung dan gunungan putri; 2) bahwa orang harus mempunyai sifat dan semangat keberanian serta kesucian dilambangkan dengan bendera merah putih; 3) manusia harus selalu ingat kepada Tuhan dalam keadaan senang maupun susah, merupakan simbol dari cakra; 4) petunjuk bagi keselamatan dan kekuasaan dari raja Surakarta yang bertahta terkandung dalam makna wapen; 5) sebagai simbol pakaian jasmani dan rohani manusia adalah kampuh; 6) keteguhan hati dalam menghadapi masalah kehidupan dunia dilukiskan dengan entho-entho; 7) telur asin melambangkan laki-laki dan perempuan yang bersatu dan terjadinya manusia baru; 8) kemakmuran dari sebuah kerajaan dilambangkan dengan nasi; 9) bahan hasil bumi merupakan lambang kesuburan bumi; 10) gunungan putri melambangkan putri sejati, 11) semangat hidup dan pertimbangan kewajiban lahir batin dengan Tuhan dan sesama manusia dilihat dari eter; 12) mendatangkan berkah dan kemuliaan jati diri manusia yang diperoleh dari amal baik terwakili oleh bunga; 13) menggambarkan hasil karya wanita dalam dapur atau rumah tangga terwakili oleh jadah, wajik, dan jenang; 14) sebagai sarana memperoleh kebutuhan lahiriah manusia dalam hidup di dunia dan bermakna batiniah sebagai cobaan hidup manusia yang mendatangkan keresahan bagi yang tidak dapat menggunakan terwakili oleh uang logam; 15) dapat menjujung harkat dan martabat orang tua dilambangkan dengan tuntut atau eter kecil; 16) Ancak cantaka melambangkan kehidupan yang makmur tercukupi kebutuhan jasmani dan rohani; 17) sebagai lambang kehidupan yang baik untuk para Nabi dan Wali terwakili oleh sega uduk atau nasi gurih; 18) kehidupan yang tercukupi dilambangkan pada sega janganan atau nasi sayuran; 19) untuk menyucikan lahir batin disimbolkan dengan sega asahan; 20) penolak balak dan menyingkirkan segala sumber bahaya atau bencana yang akan terjadi terwakili oleh buah-buahan atau jajan pasar; 21) awet muda jika memakan sirih saat gamelan sekaten dibunyikan pertama kali, dan 22) untuk menguji kesungguhan dan keteguhan iman pepatih dalem dalam mengemban perintah ingkang Sinuhun dilambangkan dengan canthangbalung.
B. Saran
Berkaitan dengan simpulan di atas, saran yang dapat diberikan adalah bahwa cerita rakyat Upacara Tradisi Sekaten yang berkembang dalam masyarakat Surakarta ini dapat digunakan sebagai bahan dokumentasi sejarah dan Pemerintah Daerah Surakarta dapat mempublikasikan hal-hal yang berkaitan dengan Upacara Tradisi Sekaten, karena upacara tradisi ini dapat dijadikan aset wisata yang menarik. Dinas Pariwisata hendaknya memberikan rekomendasi untuk menerbitkan buku yang berisi cerita rakyat terutama cerita rakyat Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta untuk dijadikan sumber informasi.
Daftar Pustaka
Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.
Handipaningrat, KRT.. Tt. Perayaan Sekaten. Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta.
Herusatoto, Budiono. 1987. Simbolisme Dalam Budaya Jawa.Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Koentjaraningrat.1984. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Moeliono, Anton (penyunting). 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Poerwadarminto, W.J.S.. 2003. Ensiklopedi Umum. Jakarta: Balai Pustaka.
Rahmawati Agustina Noor. 2002. Sekaten Tahun Dal dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Masyarakat Surakarta. Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS.
Sutarjo, I.. 1998. Nilai Simbolis dan Religius dalam upacara Tradisional Bersih Desa. Penelitian Mandiri: UNS.
Supanto. 1982. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Proyek Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar