Selasa, 29 Maret 2011
ontologi dalam filsafat ilmu
Pendahuluan Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dlaam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Setiap manusia sangat membutuhkan ilmu, agama, dan seni sebagai tiga bidang pengetahuan yang sangat akrab dan sangat fundamental dalam kehidupan manusia, dan ketiganya sangat dibutuhkan AGAMA Agama kerap “berebutan” lahan dengan filsafat. Objek agama dalam banyak hal hampir sama dengan filsafat, hanya lebih sempit dan lebih praktis. Seperti filsafat, agama juga membahas Tuhan, manusia, dan alam. Seperti filsafat, agama juga menyoal metafisika, namun jawabannya sudah jelas: hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Selain Tuhan, objek pokok dari agama adalah etika khususnya yang bersifat praktis sehari-hari. Yang membedakan agama dari filsafat terutama adalah epistemologi atau metodenya. Pengetahuan agama berasal dari wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi, dan kita memerolehnya dengan jalan percaya bahwa Nabi benar. Pada agama, yang harus kita lakukan adalah beriman, baru berpikir. Kita boleh memertanyakan kebenaran agama, setelah menerima dan memercayainya, dengan cara lain (rasional atau empiris). Tapi ujung-ujungnya kita tetap harus percaya meskipun apa yang disampaikan agama itu tidak masuk akal atau tidak terbukti dalam kenyataan. Jawaban yang diberikan agama atas satu masalah bisa sama, berbeda, atau bertentangan dengan jawaban filsafat. Dalam hal ini, latar belakang keberagamaan seorang filosof sangat memengaruhi. Jika ia beragama, biasanya ia cenderung mendamaikan agama dengan filsafat, seperti tampak pada filsafat skolastik, baik filsafat Yahudi, Kristen, maupun Islam. Jika ia tidak beragama, biasanya filsafatnya berbeda atau bertentangan dengan agama. Secara praktis, agama sangat fungsional dalam kehidupan manusia. Fungsi utama agama adalah sebagai sumber nilai (moral) untuk dijadikan pegangan dalam hidup budaya manusia. Agama juga memberikan orientasi atau arah dari tindakan manusia. Orientasi itu memberikan makna dan menjauhkan manusia dari kehidupan yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan makna itu terutama bersumber dari kepercayaan akan adanya Tuhan dan kehidupan setelah mati. (Coba perhatikan, dalam Alquran, objek iman yang paling banyak disebut bahkan selalu disebut beriringan adalah iman kepada Allah dan hari kemudian). Seni Secara historis, seni dan ilmu membangkitkan keluar dari tanah yang sama, atau bahwa waktu ada ketika mereka tidak dianggap pursuits berbeda. Kemudian, dikatakan, budaya Eropa mulai memberikan posisi khusus untuk artis, gagasan "jenius" lahir dan produk seni semakin menjadi komoditas untuk pembelian dan kepemilikan. Sekitar saat ini, seni dan ilmu pengetahuan juga mulai untuk memisahkan dan cukup menunjukkan metodologi yang berbeda, produk dan fungsi sosial. Hal ini juga umumnya mengatakan bahwa interaksi antara aliran seni dan sains dalam satu arah, yang seniman menjadi tertarik dalam ilmu, metode dan konsep, dan menggabungkan mereka dengan cara yang longgar di dalam karya mereka sendiri, tetapi keuntungan sedikit ilmu apa-apa dari seni. Di sisi lain menarik untuk dicatat bahwa, dalam daftar koneksi di atas, sebuah revolusi dalam seni umumnya mendahului bahwa dalam ilmu pengetahuan dengan satu dekade atau lebih. Tapi bagaimana ini mungkin? Bagaimana ilmu dipengaruhi atau diubah oleh apa seniman? Apakah ada hubungan sebab-akibat langsung, atau seniman antena bagi masa depan yang mengantisipasi perubahan umum dalam pemikiran yang pada akhirnya akan memasuki ilmu? (Stravinsky berpendapat bahwa "artis tidak mendahului waktunya, masyarakat berada di belakang mereka.) Ini juga mungkin terjadi bahwa seni membantu kita untuk memvisualisasikan dunia dan bahwa ide-ide baru dan konsep dalam ilmu hanya menjadi "nyata" seperti yang diproyeksikan ke dalam model mental visual - yaitu ketika mereka "melihat" dalam teater pikiran. Jadi, ketika perubahan dalam seni mempengaruhi cara kita "melihat" dunia, mereka pasti mengerahkan pengaruh pada ilmu cara "melihat" alam. Pelukis Inggris Patrick Heron berpendapat bahwa seni menentukan cara kita melihat dunia. Tanpa beberapa bentuk representasi artistik, katanya, pengalaman visual kita akan kebingungan berdengung. Jadi, ketika gerakan perubahan seni demikian juga persepsi kita tentang dunia. Pernyataan Heron adalah satu kuat dan tampaknya menyiratkan bahwa perubahan kesadaran manusia bersama dengan revolusi artistik. Dalam ini mirip dengan pernyataan "kuat" dari hipotesis Whorf-Sapir dalam linguistik - bahwa bahasa menentukan cara kita melihat dunia. Tapi apa Sapir Whorf dan benar-benar mengatakan adalah bahwa bahasa dan persepsi kita tentang dunia dan tak terelakkan terkait - tidak cukup hal yang sama. Begitu juga seni benar-benar menentukan cara kita melihat dunia, dan melakukan gerakan dalam seni mencerminkan perubahan dalam kesadaran manusia - atau seluruh hal yang lebih halus dan kurang kausal terkait? Hubungan seni dan agama Agama sangat fungsional dalam kehidupan manusia sehingga agama merupakan sumber nilai untuk dijadikan pegangan dalam budaya manusia. Sedangkan seni merupakan bentuk ekspresi individu bdari imajinasi atau daya cipta. Dalam penerapannya agama dan seni merupakan satu kesatuan dalam menciptakan sdebuah imajinasi atau kreativitas dengan dilandasi sebuah agama akan menjadi lebih bermakna. Dalam perjalanan estistis berdampak internal, yaitu perubahan dalam persepsiterhadap diri sendiri dengan akibat: (!) dapat menyentuh keluhuran budi; (2) memberikan kesadaranbahwa manusia mahkluk fana dan baka; (3) memberikan kesadaran tentang derita, kasih sayang, dan cinta manusiawi; (4) mengingatkan kita akan nasib manusia ; dan (5) menjadi sarana untuk renungan yang bersifat kemanusiaan Pengalaman religious berdampak eksternal yaitu perubahan sikap dan tingkah laku manusia terhadap hidup yang sesama manusia dengan akibat timbulnya : (1)sikap penuh kerendahan hati; (2) mmemiliki rasa syukur; (3) tumbuhnya kejelasan tentang tujuan hidup; (4) terjadinya sintesis terhadap wujud kehidupan; (5) menjadikan agama sebagai fondasi kebenaran dalam diri manusia; (6) menanamkan adanya kepastian akan aturan main dalam pergaulan sesame manusia. Kesadaran yang bersifat religious bersifat ekristensial teleologis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar