ANALISIS LIRIK LAGU CIPTAAN IWAN FALS
I. PENDAHULUAN
Analisis wacana menginterprestasi makna sebuah ujaran dengan memperhatikan konteks, sebab konteks menentukan makna ujaran. Konteks meliputi konteks linguistik dan konteks etnografii. Konteks linguistik berupa rangkaian kata-kata yang mendahului atau yang mengikuti sedangkan konteks etnografi berbentuk serangkaian ciri faktor etnografi yang melingkupinya, misalnya faktor budaya masyarakat pemakai bahasa. Manfaat melakukan kegiatan analisis wacana adalah memahami hakikat bahasa, memahami proses belajar bahasa dan perilaku berbahasa.
Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antarpenyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide atau gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan.
Bahasa merupakan media pembangun karya sastra. Sebagai media, bahasa berfungsi untuk mengungkapkan atau mengekspresikan gagasan dan tujuan yang ada dalam benak pengarang yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sebuah karya sastra dapat dikatakan sebagai suatu dunia yang diciptakan pengarang melalui media bahasa. Oleh karena itu, dalam menyampaikan gagasan-gagasannya pengarang akan memiliki gaya bahasa sendiri yang mencerminkan karakternya.
Setiap pengarang mempunyai gaya bahasa sendiri dalam menyampaikan pikiran, perasaan atau pesan kepada pembaca. Gaya bahasa merupakan salah satu aspek yang digunakan pengarang dalam mendayagunakan bahasa. Pengarang sering menggunakan gaya bahasa untuk menciptakan efek tertentu dalam karya sastranya. Efek tersebut dapat menimbulkan nilai dan pengalaman estetik serta dapat menimbulkan reaksi tertentu bagi pembaca.
Sebuah karya sastra merupakan karya imajinatif dengan menggunakan media bahasa yang khas. Karya sastra tersebut dapat berupa puisi, prosa, dan novel. Puisi merupakan salah satu karya sastra yang menggunakan bahasa yang khas. Bahasa yang digunakan dalam puisi berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Kekhasan bahasa dalam puisi salah satunya terdapat dalam lirik lagu. Lirik lagu bersifat puitik dan mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan puisi. Pemilihan penelitian ini berdasarkan pada lirik lagu yang mempunyai ciri-ciri mirip dengan puisi, karena ada beberapa pengarang yang menghubungkan puisi dengan musik. Jhon Dryden (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 5) mengatakan bahwa poetry is articulate music. Sementara itu, Isaac Newton (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 5) mengatakan bahwa poetry is ingenius fiddle-faddle, yang artinya puisi adalah nada yang penuh keaslian dan keselarasan. Dalam hal ini Henry Guntur Tarigan menjelaskan bahwa hubungan antara puisi dan musik amat erat, ini bisa dilihat bahwa unsur utama puisi adalah irama. Lebih lanjut Henry Guntur Tarigan (1993: 5) mengatakan bahwa salah satu maksud utama puisi terhadap para penikmatnya pada umumnya adalah not to speak but to sing, yang artinya bukan berbicara tetapi berdendang.
Lirik lagu juga merupakan ekspresi seseorang dari alam batinnya tentang suatu hal yang dilihat, didengar atau dialaminya. Penuangan ekspresi lewat lirik lagu ini selanjutnya diperkuat dengan melodi dan notasi musik yang disesuaikan dengan lirik lagunya. Dengan demikian penikmat musik akan semakin terbawa dalam alam batin pengarangnya. Suminto A. Sayuti (1985: 24) mengemukakan bahwa bahasa yang digunakan dalam lirik lagu merupakan hal yang menarik untuk dikaji, karena bahasa lirik lagu merupakan bahasa puisi. Bahasa puisi adalah sifat-sifat bahasa yang digunakan sebagai media ekspresi dan bukan merupakan bahasa yang definitif.
II. kajian Teori
A. GAYA BAHASA
Gaya bahasa atau style dalam kebahasaan dititikberatkan pada kesesuaian pemilihan kata dalam sebuah wacana. Jangkauannya tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat (frasa, klausa, dan pilihan kata), tetapi juga termasuk unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu. Nada yang tersirat dalam wacana merupakan penilaian terhadap identitas penulis. Gorys Keraf (2004: 113) mengungkapkan bahwa gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara untuk mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa. Aminuddin (1995: 35) juga mengungkapkan bahwa gaya bahasa adalah cara penggunaan sistem tanda yang mengandung ide, gagasan, dan nilai estetis tertentu.
Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 276). Leech dan Short dalam Burhan Nurgiyantoro (2005: 276) juga berpendapat bahwa gaya bahasa adalah suatu hal yang pada umumnya tidak lagi mengandung sifat kontroversial, menyaran pada pengertian cara penggunaan bahasa dalam waktu tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu dan sebagainya.
Menurut Rachmad Djoko Pradopo (1997: 264) gaya bahasa merupakan cara penggunaan bahasa secara khusus untuk mendapatkan efek-efek tertentu. Dalam karya sastra efek ini adalah efek estetik yang turut menyebabkan karya sastra bernilai seni. Meskipun nilai seni karya sastra tidak hanya semata-mata disebabkan gaya bahasa saja, namun gaya bahasa sangat besar sumbangannya terhadap pencapaian nilai seni karya sastra.
Slamet Muljana dalam Rachmad Djoko Pradopo (1997: 265) mengatakan bahwa gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan dalam hati pengarang yang dengan sengaja atau tidak, menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Lain halnya dengan Dick Hartoko dan Rahmanto (dalam Rachmad Djoko Pradopo, 1997: 264) mengatakan bahwa gaya bahasa adalah cara yang khas yang dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri (gaya pribadi).
Sementara itu, Harimurti Kridalaksana (dalam Rachmad Djoko Pradopo, 1997: 264) mengatakan bahwa gaya bahasa memiliki tiga pengertian, yaitu: (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu dan; (3) keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Berdasarka pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah cara pengungkapan dengan bahasa yang khas untuk menuangkan sebuah pikiran, sehingga menciptaka efek-efek tertentu kepada para pembaca atau pendengar.
Gorys Keraf (2004: 114) mengkategorikan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, yaitu: (1) gaya bahasa klimaks; (2) gaya bahasa antiklimaks; (3) gaya bahasa paralelisme; (4) gaya bahasa antitesis; (5) gaya bahasa repetisi (epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplois, dan anadiplois). Gorys Keraf (2004: 115) juga mengkategorikan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, gaya bahasa tersebut meliputi: (1) gaya bahasa retoris (aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, apostrof, asidenton, polisidenton, kiasmus, elipsis, eufimisme, litotes, hysteron, prosteron, pleonasme, tauntology, perifasis, prolepsis, erotesis, silepsis, zeugma, koreksio, hiperbola, paradoks, dan oksimoron); (2) gaya bahasa kiasan (simile, metafora, alegori, parabel, fabel, personifikasi, alusi, sinisme, sarkasme, satire, innuendo, dan antifrasis).
Perrin sebagaimana dikutip Henry Guntur Tarigan (1995: 141) mengemukakan tiga jenis gaya bahasa, yaitu: (1) perbandingan, terdiri dari metafora, persamaan, analogi; (2) hubungan, terdiri dari metonomia dan sinekdoke; (3) pernyataan, terdiri dari hiperbola, litotes, dan ironi. Sedangakan Badudu sebagaimana dikutip Riyono Pratikno (1984: 151) dikemukakan bahwa gaya bahasa dibagi menjadi empat jenis, yaitu (1) gaya bahasa perbandingan; (2) gaya bahasa sindiran; (3) gaya bahasa penegasan; dan (4) gaya bahasa pertentangan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan, terdiri dari simile, metafora, personifikasi, alegori; (2) gaya bahasa pertentangan, terdiri dari hiperbola, ironi, oksimoron, paradoks, klimaks, antiklimaks; (3) gaya bahasa pertautan, terdiri dari metonimia, sinekdoke, paralelisme, elipsis; (4) gaya bahasa perulangan, terdiri dari aliterasi, asonansi, anafora, dan epizeukis.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, gaya bahasa adalah cara pengungkapan dengan bahasa yang khas untuk menuangkan sebuah pikiran, sehingga menciptaka efek-efek tertentu kepada para pembaca atau pendengar. Selain itu, gaya bahasa dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan, terdiri dari simile, metafora, personifikasi, alegori; (2) gaya bahasa pertentangan, terdiri dari hiperbola, ironi, oksimoron, paradoks, klimaks, antiklimaks; (3) gaya bahasa pertautan, terdiri dari metonimia, sinekdoke, paralelisme, elipsis; (4) gaya bahasa perulangan, terdiri dari aliterasi, asonansi, anafora, dan epizeukis.
B. HAKIKAT LIRIK LAGU
Atar Semi (1993: 106) mengungkapkan bahwa lirik adalah puisi yang sangat pendek yang mengekspresikan emosi. Lirik dapat juga diartikan sebagai puisi yang dinyanyikan, karena itu ia disusun dalam susunan yang sederhana dan mengungkapkan sesuatu yang sederhana pula. Ragam bahasa lagu atau lirik lagu termasuk dalam kategori ragam bahasa tidak resmi atau disebut juga ragam non formal/tidak baku. Ragam bahasa ini merupakan ragam santai dan akrab. Ragam santai digunakan dalam keadaan santai, misalnya pada saat berbincang-bincang dengan teman, rekreasi, berolahraga, dan lain-lain. Di dalam penulisan lagu seorang pencipta lagu tidak terlalu mempersoalkan tentang kebakuan bahasa yang dipakainya. Pemakaian bahasa yang ditulis bersifat longgar seperti bahasa yang digunakan dalam situasi santai namun tentu tidak terlepas dari proses kreatif, seleksi kata dan bahasa.
Lirik lagu yang dihasilkan haruslah merupakan bahasa yang mampu memberikan kenikmatan estetik bagi pendengarnya. Kenikmatan estetik dalam bahasa adalah perasaan senang yang ditimbulkan oleh pemakaian bahasa yang indah, halus, melodius, yang mencerminkan selera dan citarasa artistik pengarang atau penyairnya yang tinggi.
Keindahan bahasa dibuat melalui pemilihan kata yang akurat, yang memperlihatkan nilai rasa, keselarasan bunyi, irama yang teratur atau bergelombang, serta penggunaan idiom yang tepat. Hal ini menjadikan pemakaian bahasa pada lirk lagu memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan dengan pemakaian bahasa lainnya.
Seorang pencipta lagu dalam menulis lirik lagu mementingkan faktor liguistik untuk mewujudkan hasil karyanya, antara lain: pilhan kata dan gaya bahasa. Faktor diksi dalam syair lagu merupakan faktor penting karena pemilihan kata yang tepat dan sesuai dengan musik merupakan daya tarik dari suatu lagu. Demikian juga dengan gaya bahasa, merupakan faktor yang membentuk suatu keindahan lagu. Sehubungan dengan pemilihan kata, kesesuaian kata meliputi bentuk dan arti. Bentuk merupakan wujud ujaran yang diucapkan manusia, sedangkan arti mengacu pada pesan yang disampaikan. Arti memiliki tipe-tipe sesuai dengan kedudukan pemakai bahasa dalam suatu kalimat. Dengan pemilihan kata yang tepat, suatu karya akan memberi kesan kepada para pembaca atau pendengar.
Dalam lagu, penyair atau pengarang harus cermat memilih kata-kata karena kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya dan keddudukan kata dalam keseluruhan lagu itu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gorys Keraf (2004: 24) bahwa diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan menemukan bentuk sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.
Menurut Herman J. Waluyo (1987: 72), setidaknya dalam proses pemilihan kata terdapat tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: perbendaharaan kata, urutan kata, dan daya sugesti kata. Berikut ini penjelasannya:
1) Perbendaharaan kata
Perbendaharaan kata penyair dapat memberikan kekuatan ekspresi dan menunjukkan ciri khas penyair. Penyair memilih kata-kata berdasarkan pada beberapa hal, yaitu: makna yang akan disampaikan, tingkat perasaan, suasana batin, dan faktor sosial budayanya.
2) Urutan kata
Urutan kata dalam lagu bersifat beku. Artinya, urutan itu tidak dapat dipindah-pindahkan tempatnya meskipun maknanya tidak berubah oleh perpindahan tempat itu. Terdapat perbedaan teknik menyusun urutan kata dalam lagu baik urutan dalam tiap baris maupun urutan dalam suatu bait. Oleh karena itu, pengurutan kata itu bersifat khas antara masing-masing penyair.
3) Daya sugesti kata
Sugesti ditimbulkan oleh makna kata yang dipandang sangat tepat mewakili perasaan penyair. Ketepatan pilihan dan ketepatan penempatan menyebabkan kata-kata itu seolah memancarkan daya yang mampu memberikan sugesti kepada pendengar untuk ikut bersedih, terharu, bersemangat dan marah.
BAB IV. PEMBAHASAN
A. ANALISIS JENIS-JENIS GAYA BAHASA PADA LIRIK LAGU
CIPTAAN IWAN FALS
Dari analisis data dapat diketahui bahwa tiap album Iwan Fals terdiri atas beberapa jenis gaya bahasa. Gaya bahasa yang terdapat dalam album “Sumbang” sebanyak 49 buah, album “Sarjana Muda” sebanyak 53 buah, album “Ethiopia” sebanyak 62 buah, album “Manusia ½ Dewa” sebanyak 29 buah, album “Cikal” sebanyak 33 buah, album “Opini” sebanyak 28 buah, album “1910” sebanyak 42 buah, album “Wakil Rakyat” sebanyak 22 buah, album “Suara Hati” sebanyak 6 buah, dan album “Sugali” sebanyak 47 buah. Gaya bahasa yang dominan muncul adalah gaya bahasa paralelisme sebanyak 70 buah, asonansi sebanyak 63 buah, aliterasi sebanyak 56 buah, anafora sebanyak 34 buah, hiperbola sebanyak 30 buah, personifikasi sebanyak 26 buah, simile sebanyak 22 buah, metafora sebanyak 16 buah, metonimia sebanyak 15 buah, ironi sebanyak 11 buah, elipsis sebanyak 8 buah, sinekdoke sebanyak 8 buah, epizeukis sebanyak 4 buah, klimaks sebanyak 3 buah, anti klimaks sebanyak 2 buah, alegori sebanyak 1 buah, oksimoron sebanyak 1 buah, dan paradoks sebanyak 1 buah. Analisis data selengkapnya dapat dilihat pada paparan berikut ini.
Jenis-jenis gaya bahasa yang terdapat dalam lirik lagu ciptaan Iwan Fals ini ternyata cukup bervariasi, artinya terdapat beberapa jenis gaya bahasa yang ditemukan dalam lirik lagu tersebut. Dari hasil penelitian terdapat delapan belas jenis gaya bahasa, yaitu:
a. Perumpamaan atau simile
Simile merupakan gaya bahasa perbandingan yang ditandai oleh unsur konstruksional seperti: bagai, sebagai, bak, dan sejenisnya. Dalam penelitian ini, unsur konstruksional yang ada adalah seperti, bagai, dan bak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada data-data berikut ini:
(1) butiran embun yang ada di daun bagai intan berlian (KKHP)
(2) betismu bukan main, indah bak padi bunting (GZ)
(3) binatang tak mempunyai akal dan pikiran
segala cara halalkan demi perut kenyang
binatang tak pernah tahu rasa belas kasihan
padahal di sekitarnya tertatih berjalan pincang
namun kadangkala, ada manusia seperti binatang
bahkan lebih kejam dari binatang (Op)
(4) datangnya pertolongan yang sangat diharapkan bagai rindukan bulan (CCTDC)
(5) Tante-tante yang kesepian bertingkah seperti perawan (O.A.M)
Pada data (1) penyair menyamakan butir embun yang ada di daun dengan intan berlian. Kedua hal tersebut sangat berbeda, butir embun yang biasa ditemui setelah terjadi hujan disamakan dengan perhiasan yang berupa intan berlian. Pada data (2) betis yang dimaksud adalah betis seorang guru yang bernama Zirah. Betis guru Zirah disamakan seperti buah padi bunting yang berkonotasi pada buah padi yang sudah masak dan menguning. Begitu pula pada data (3) dan (5). Pada data (3) manusia disamakan dengan binatang, sedangkan pada data (5) tingkah tante-tante kesepian disamakan dengan tingkah perawan.
Pada data (4) datangnya pertolongan yang sangat diharapkan, digambarkan bagaikan merindukan bulan. Pertolongan yang dimaksud di sini adalah pertolongan ketika kapal akan tenggelam dan mereka mengharapkan pertolongan yang cepat. Namun, karena lingkungan yang tidak memungkinkan karena berada di lingkungan lautan yang luas, maka pertolongan yang diharapkan diibaratkan “bagaikan merindukan bulan”. Simbol “bagaikan merindukan bulan” merupakan simbol tentang sesuatu hal yang tidak mungkin terjadi. Dengan perbandingan ini, imajinasi pemmbaca lebih mudah untuk terbawa dalam suasana yang ditimbulkan dalam lirik lagu tersebut. Dengan perbandingan ini penyair juga berusaha membandingkan segala sesuatu dengan yang lain, agar yang semula kelihatan abstrak menjadi lebih konkret dan mudah ditangkap oleh pembaca. Artinya hal yang diungkapkan tampak terlihat, terdengar atau terasakan dan terbayangkan oleh pembaca. Frekuensi kemunculan gaya bahasa simile ini adalah 22 kali.
b. Metafora
Metafora adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu hal atau peristiwa dengan menggunakan perbandingan secara langsung. Metafora merupakan bahasa kiasan yang tidak menggunakan kata-kata pembanding. Penggunaan gaya bahasa metafora dapat dilihat dari data-data berikut ini:
(6) mata indah bola pingpong (MIBPP)
(7) kota besar menjadi magnit (DOPB)
(8) walau hidup adalah permainan (MSD)
(9) walau hidup adalah hiburan (MSD)
Melalui data-data tersebut, dapat diketahui bahwa penyair mengadakan perbandingan. Misalnya, dalam data (6) mata yang indah digambarkan seperti bola ping pong yang berbentuk bundar. Pada data (7) kota besar disimbolkan sebagai magnit yang menarik orangorang dari desa untuk pergi ke kota. Begitu pula dengan pada data (8) dan data (9), yaitu hidup disamakan dengan permainan dan hiburan.
Ungkapan-ungkapan Iwan Fals yang bersifat metaforik itu banyak mengandung tanggapan bagi pembaca yang benar-benar mencermatinya. Perbandingan tersebut membuat sesuatu yang semula abstrak dan merupakan sesuatu yang tidak jelas menjadi lebih konkret dan memberi kejelasan bagi pembaca. Perbandingan metafora lebih dapat menggugah asosiasi dibandingkan perbandingan yang menggunakan simile. Walaupun demikian, kedua perbandingan ini efektif sekali untuk menggugah dan merangsang tanggapan bagi pembaca. Selain itu, keduanya juga dapat lebih memperjelas tuturan dan maksud penyair. Frekuensi kemunculan gaya bahasa metafora ini sebanyak 17 kali.
c. Personifikasi
Gaya bahasa ini mencoba mengkonkretkan sesuatu hal dengan cara memberi sifat-sifat insani kepada makhluk atau benda mati. Dengan menggunakan gaya bahasa personifikasi ini pula diharapkan agar gambaran yang abstrak dan semula sulit ditangkap oleh pembaca menjadi mudah untuk dipahami. Agar lebih jelas, perhatikan data-data berikut ini:
(10) angin genit mengelus merah putihku
yang berkibar sedikit malu-malu (BPPIP)
(11) seperti biasa aku diam tak bicara
hanya mampu pandangi
bibir tipismu yang menari (En)
(12) lalat-lalat berdansa cha cha cha (Et)
(13) dan batu-batu karang tertawa ramah bersahabat (TBLL)
Melalui beberapa contoh di atas dapat terlihat bahwa dengan melihat sifat-sifat insani pada benda-benda mati itu, benda atau sesuatu yang semula abstrak menjadi lebih konkret dan ekspresif. Pada data (10) dapat dilihat bahwa penyair memberikan sifat insani kepada angin genit yang mengelus merah putih yang berkibar seidkit malu-malu. Dari contoh tersebut penyair memberikan sifat insani kapada angin dan bendera yang disimbolkan dengan merah putihku seperti tingkah laku manusia. Genit dan malu-malu merupakan sifat yang dimiliki manusia.
Pada data (11) bibir merupakan salah satu anggota tubuh manusia yang bisa bergerak apabila sedang bicara atau dikehendaki oleh manusia, sehingga bisa dikatakan sebagai benda mati. Penggambaran bibir yang menari ini, mempunyai arti bahwa bibir yang dimaksud sangat indah dan enak untuk dipandang waktu berbicara. Begitu pula pada data (12) dan data (13), lalat-lalat digambarkan bisa berdansa seperti manusia dan batu-batu karang bisa tertawa ramah dan bersahabat dengan manusia.
Pemberian sifat insani pada contoh-contoh tersebut membuktikan bahwa ungkapan gaya bahasa personifikasi dipergunakan Iwan Fals dalam lirik lagunya. Frekuensi kemunculannya sebanyak 26 kali. Banyaknya frekuensi personifikasi yang dipergunakan Iwan Fals dalam lirik lagunya bertujuan mengintesifkan pernyataan yang ingin disampaikan, disamping memperjelas amanat yang terkandung dalam lirik lagunya. Selain itu, gambaran dari penggunaan personifikasi ini akan terasa lebih memberikan rangsangan kenikmatan kepada pembaca.
d. Alegori
Gaya bahasa selanjutnya adalah alegori. Gaya bahasa ini merupakan cerita kiasan atau lukisan kiasan yang mengiaskan suatu hal atau kejadian. Agar lebih jelas, perhatikan data-data berikut ini:
(14) si anjing liar dari Yogyakarta
apa kabarmu ...
kurindu gonggongmu yang keras
hantam cadas
si kuda binal dari Yogyakarta
sehatkah kamu ...
kurindu ringkikmu yang genit
memaki onar
di mana kini kau berada
tetapkah nyaring suaramu
si mata elang dari Yogyakarta
resahkah kamu
kurindu sorot matamu yang tajam
belah malam
di mana runcing kokok paruhmu
tetapkah angkuhmu hadang keruh (Wi)
Lirik lagu ini menceritakan tentang seorang penyair yang dikenal protes dan kritik sosial. Penyair yang dimaksud adalah WS Rendra yang biasa dipanggil dengan nama Willy, dan nama panggilan itu dijadikan judul lagu tersebut. Pada data (14) penyair mengiaskan WS Rendra sebagai ‘anjing liar’ yang selalu menggongong keras. Selain itu WS Rendra juga disamakan dengan ‘kuda binal’ dan ‘burung elang’. Frekuensi kemunculan gaya bahasa ini sebanyak 1 kali.
e. Hiperbola
Gaya bahasa hiperbola pada dasarnya ingin memberikan gambaran secara berlebih-lebihan dari keadaan yang sebenarnya. Tujuannya tidak lain adalah untuk meyakinkan pembaca serta memberikan kesan semantis bahwa apa yang diutarakan itu adalah sungguh-sungguh. Oleh karena itu, penyair menggunakan kata-kata yang penuh dinamika, kata-kata yang bersifat positif, optimis dan kadang-kadang bersifat bombastis, tetapi tetap rasional dan tidak mengada-ada. Perhatikan data-data berikut ini:
(15) mayat-mayat bergelimpangan tek terkubur dengan layak (P1)
(16) di dalam ambulan tersebut tergolek sosok tubuh gemuk bergelimang
perhiasan (AZZ)
(17) namun aku tak takut untuk ungkapkan
segudang kata cinta padamu (MC)
(18) itu sepeda butut dikebut lalu cabut kalang kabut cepat pulang (GOB)
(19) hujan air mata dari pelosok negeri (BH)
Dengan memperhatikan data-data di atas, terlihat bahwa ada sedikit kesan bombastis dari kata-katanya. Pada data (15) menggambarkan mayat-mayat yang bergelimpangan di mana-mana dan tak terkubur sebagaimana mestinya. Mayat-mayat tersebut merupakan korban perang.
Data (17) yang menyatakan segudang kata cinta padamu merupakan ungkapan yang dilebih-lebihkan dan merupakan bombasme. Bombasme menyatakan suatu hal atau keadaan yang mustahil dan tidak masuk akal. Hal itu terjadi pada data (16) bergelimang perhiasan juga merupakan suatu hal yang berlebihan.
Pada data (18) penyair menyebutkan sepeda butut yang sudah tua bisa standing dan terbang seperti pesawat terbang. Kalau kita tidak menganalisalebih jauh, maka hal tersebut tidak akan mungkin terjadi. Namun, bila dicermati benar-benar hal tersebut mungkin sekali terjadi, terlebih di era globalisasi seperti sekarang ini. Semua terjadi di dunia dapat kita ketahi melalui teknologi yang ada. Begitu pula pada data (19) hujan air mata dari pelosok negeri bermaksud tangis dari orang-orang yang berduka karena kehilangan orang yang berduka karena kehilangan orang yang mereka sayangi atau hormati. Frekuensi kemunculan gaya bahasa hiperbola ini sebanyak 30 kali.
f. Ironi
Gaya bahasa lain yang terdapat dalam lirik lagu ciptaan Iwan Fals ini adalah gaya bahasa ironi. Gaya bahasa ironi merupakan gaya bahasa sindiran. Lirik lagu ciptaan Iwan Fals yang bergaya bahasa ironi, merupakan sindiran terhadap kejadian-kejadian yang terasa janggal atau ketidakadilan dalam suatu masyarakat atau negara, seperti yang terdapat dalam data berikut ini:
(20) engkau sarjana muda resah tak dapat kerja
tak berguna ijasahmu
empat tahun lamanya bergelut dengan buku (SM)
(21) berdarahkah tuan yang duduk di belakang meja
atau cukup hanya ucapkan bela sungkawa
aku bosan... (1910)
(22) Oemar Bakri Oemar Bakri pegawai negeri
Oemar Bakri Oemar Bakri 40 tahun mengabdi
jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri profesor doktor insinyur pun jadi
tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri (GOB)
(23) kereta tiba pukul berapa
biasanya kereta terlambat
dua jam mungkoin biasa
dua jam cerita lama (KTPB)
Contoh gaya bahasa ironi pada lirik lagu yang berjudul SM merupakan sindiran tentang sarjana muda yang sulit mencari pekerjaan setelah lulus kuliah. Tiap melamar ke sebuah jawatan, selalu ditolak. Di situ digambarkan bahwa selama 4 tahun kuliah, hanya sia-sia saja. Pada data (21) merupakan sindiran kepada pemerintah atas terjadinya kecelakaan kereta api yang menewaskan banyak orang. Pemerintah seolah-olah tidak mau bertanggung jawab atas musibah tersebut. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 19 Oktober, yang juga dijadikan judul lirik lagu oleh Iwan Fals.
Pada data (22) merupakan sindiran tentang nasib seorang pegawai negeri bernama Oemar Bakri yang telah 40 tahun menjadi guru. Oemar Bakri hanya memiliki gaji yang pas-pasan, tetapi justru menjadi korban korupsi oleh oknum-oknum tertentu. Padahal kontribusinya terhadap dunia pendidikan sangat besar. Begitu pula selanjutnya, sindiran-sindiran yang disampaikan oleh Iwan Fals memberikan gambaran atau pengetahuan bagi pembaca bahwa masih banyak orang lemah yang perlu diperhatikan. Pada data (23) merupakan sindiran terhadap kereta api yang sering terlambat kedatangannya dua jam dari waktu seharusnya.
Frekuensi kemunculan gaya bahas ironi sebanyak 12 kali. Penggunaan gaya bahasa ironi oleh Iwan Fals dalam lirik lagunya merupakan cara efektif untuk menyampaikan inspirasi yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan. Selain itu mengajak pembaca untuk berpikir sehingga mereka sadar dan mengerti akan maksud yang disembunyikan di balik rangkaian kata-katanya.
g. Oksimoron
Gaya bahasa oksimoron mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase yang sama, seperti pada data berikut ini:
(24) kehebatan ilimu pengetahuan untuk menghancurkan (P1)
Dengan memperhatikan contoh tersebut, terlihat bahwa adanya pertentangan antara kehebatan dan penghancuran dalam ilmu pengetahuan. Di jaman modern ini, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Segala hal dilakukan dengan teknologi modern. Akan tetapi, kadang-kadang ada manusia yang tak bertanggung jawab dengan menyalahgunakan teknologi tersebut. Meraka mengeksploitasi alam secara besar-besaran tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan. Hal itu akan berakibat rusaknya bumi dan lingkungannya.
Gaya bahasa oksimoron mengandung sindiran yang efektif. Gaya bahasa ini tidak banyak ditemukan dalam lirik lagu ciptaan Iwan Fals. Frekuensi kemunculan gaya bahasa oksimoron sebanyak 1 kali.
h. Paradoks
Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan kenyataan yang ada, seperti yang terdapat pada data berikut ini:
(25) di atas derita mereka masih bisa tertawa (KB)
Pada data di atas dikatakan bahwa orang-orang kaya yang masih bisa tertawa, bersenang-senang, padahal di sekitarnya masih banyak orang miskin yang menderita dan membutuhkan pertolongan. Orang-orang kaya seolah-olah tidak peduli terhadap keadaan semacam itu. Mereka hanya mementingkan dirinya sendiri.
Sindiran yang terdapat dalam contoh lirik lagu di atas, sangat relevan dengan keadaan di Indonesia sekarang ini. Gaya bahasa pradoks juga jarang ditemukan dalam lirik lagu ciptaan Iwan Fals. Frekuensi kemunculannya sebanyak 1 kali.
i. Klimaks
Gaya bahasa klimaks merupakan gaya bahasa yang mengandung urut-urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya dari hal-hal yang sudah disampaikan sebelumnya. Penggunaan gaya bahasa klimaks terdapat pada data berikut ini:
(26) itu dahulu beberapa tahun yang lalu
cerita orang tuaku
sangat berbeda dengan apa yang ada
tak biru lagi lautku
tak riuh lagi camarku
tak rapat lagi jalamu
tak kokoh lagi karangku
tak buas lagi ombakku
tak elok lagi daun kelapaku
tak senyum lagi nelayanku
tak senyum lagi nelayanku (TBLL)
(27) yang gila lagi orang gila masuk persidangan
punya pengacara yang juga gila
hakimnya gila jaksanya gila
jangan-jangan semuanya sudah gila
termasuk dokternya
termasuk saya...Mungkin (Mu)
Dalam lirik lagu yang berjudul TBLL bercerita tentang nasib seorang nelayan yang kehilangan tempat untuk mencari nafkah akibat rusaknya habitat laut. Untuk menegaskan nasib nelayan tersebut, dikatakan mulai dari ‘tak biru lagi lautku’, ‘tak riuh lagi camarku’, sampai dengan ‘tak buas lagi ombakku’. Pada baris terakhir merupakan pokok persoalan, dikatakan dengan ‘tak senyum lagi nelayanku’. Jadi, penjelasan tentang laut, camar, karang, dan ombak yang rusak tersebut merupakan pengantar untuk menuju pada penggambaran nasib nelayan. Begitu pula dalam lirik lagu yang berjudul Mu. Frekuensi kemunculan gaya bahasa ini sebanyak 3 kali.
j. Anti Klimaks
Gaya bahasa anti klimaks merupaka kebalikan dari gaya bahasa klimaks, yaitu gaya bahasa yang mengandung urut-urutan pikiran yang semakin menurun kepentingannya dari hal-hal yang sudah disampaikan sebelumnya. Penggunaan gaya bahasa anti klimaks ini terdapat pada data berikut ini:
(28) Tampomas sebuah kapal bekas
Tampomas trbakar di laut lepas
Tampomas penumpang terjun bebas
Tampomas beli lewat jalur culas
Tampomas hati siapa yang tak panas (CCTDC)
(29) di sana terlihat ribuan burung nazar
terbang di sisi iga-iga yang keluar
jutaan orang memaki takdirnya
jutaan orang mengutuk nasibnya
jutaan orang marah
jutaan orang tak bisa apa-apa (Et)
Lirik lagu yang berjudul CCTDC bercerita tentang kapal yang terbakar, yang bernama Tampomas. Untuk menegaskan nasib Tampomas dikatakan mulai dari ‘sebuah kapal bekas’, ‘terbakar di laut lepas’, ‘penumpang terjun bebas’, ‘beli lewat jalur culas’, dan yang terkhir adalah ‘hati siapa yang tak panas’. Hal yang terpenting dalam data tersebut adalah Tampomas merupakan sebuah kapal bekasyang terbakar di laut. Selanjutnya dijelaskan seterusnya sampai hal yang kurang penting sebagai pelengkapnya.
Begitu pula dalam data (29), bahwa ada jutaan orang yang tidak terima takdir yang dijalani. Mereka juga tidak terima nasib yang sedang dideritanya. Kemudian dijelaskan hal yang kurang penting, yaitu mereka tak bisa berbuat apa-apa. Frekuensi kemunculan gaya bahasa ini adalah 3 kali.
k. Metonimia
Gaya bahasa metonimia merupakan gaya bahasa yang dibentuk dengan penggantian nama. Penggunaan gaya bahasa ini terdapat pada data-data berikut.
(30) mentari pagi sudah membumbung tinggi (BPPIP)
(31) Tampomas terbakar
risau camar memberi salam
Tampomas dua tenggelam (CCTDC)
(32) belum usai peluit
belum habis putaran roda
aku dengar jerit dari Bintaro
satu lagi cacat dalam sejarah
air mata...air mata (1910)
(33) hei Tuhan adakah Kau murung
melihat beribu wajah berkabung
di sisa gelegar Galunggung (TDT)
Pada data (30) kata mentari digunakan untuk menggantikan kata matahari yang telah terbit. Begitu pula pada data (31), Tampomas dalam contoh tersebut, menggantikan nama sebuah kapal yang mengalami kecelakaan terbakar di laut lepas. Pada data (32) kata Bintaro yang terdapat dalam baris ‘aku dengar jerit dari Bintaro’, menggantikan nama sebuah stasiun yang terletak di Jakarta. Data (33) juga menjelaskan bahwa Galunggung menggantikan nama sebuah gunung di Jawa Barat yang meletus dan banyak memakan korban jiwa. Frekuensi kemunculan gaya bahasa ini sbanyak 15 kali.
l. Sinekdoke
Gaya bahasa berikutnya adalah gaya bahasa sinekdoke. Gaya bahasa sinekdoke dibagi menjadi dua jenis, yaitu pars pro toto dan totum pro parte. Pars pro toto merupakan sinekdoke yang menyebut sebagian untuk keseluruhan. Sedangkan totum pro merupakan sinekdoke yang menyebut keseluruhan untuk sebagian.
(34) apa kabar kereta yang terkapar di Senin pagi.
di gerbongmu ratusan orang yang mati
(35) seraut wajah berisi lamunan
(36) aku duduk menunggu
tanya loket dan penjaga
Pada data (34) merupakan sinekdoke pars pro toto, karena pernyataan ‘di gerbongmu ratusan orang yang mati’, kata di gerbongmu menyebutkan sebagian dari kereta, padahal yang dimaksud adalah seluruh rangkaian kereta api. Begitu pula pada data (35), seraut wajah termasuk sinekdoke pars pro toto, karena seraut wajah digunakan untuk menyebut seluruh tubuh secara lengkap. Pada data (36) loket merupakan bagian dari stasiun yang digunakan untuk membeli tiket sedangkan penjaga merupakan penjaga stasiun. Frekuensi kemunculan gaya bahasa ini sebanyak 8 kali.
m. Paralelisme
Gaya bahasa paralelisme merupakan gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran melalui pengulangan pola dan isi kalimat yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Penggunaan gaya bahasa ini dapat dilihat pada data berikut ini.
(37) binatang tak mempunyai akal dan pikiran
segala cara halalkan demi perut kenyang
binatang tak pernah tahu rasa belas kasihan
padahal di sekitarnya tertatih berjalan pincang (Op)
(38) seolah kita tidak mau mengerti
seolah kita tidak pernah peduli
pura buta dan pura tuli (BPM)
(39) walau hidup adalah permainan
walau hidup adalah hiburan
tetapi kami tidak mau dipermainkan
dan kami juga bukan hiburan (MSD)
(40) mengapa bunga harus layu
setelah kumbang dapatkan madu
mengapa kumbang harus ingkar,
setelah bunga tak lagi mekar (BBKK)
Pada data (37) baris pertama dan ketiga dalam contoh lirik lagu yang berjudul Op, menunjukkan adanya paralelisme karena memiliki pola dan makna yang sama. Paralelisme yang digunakan dalam lirik lagu tersebut mengandung maksud untuk menegaskan dan menekankan ‘binatang’ yang tidak mempunyai akal dan pikiran serta tidak mempunyai rasa belas kasihan. Begitu pula pada data (38), baris pertama dan kedua menunjukkan adanya paralelisme yang menegaskan kata ‘seolah’, yang memiliki pola yang sama.
Pada data (39) baris pertama dan kedua terdapat kata ‘walau hidup’ yang digunakan untuk menegaskan maksud pengarang bahwa hidup adalah permainan dan hiburan. Begitu pula pada data (40) baris pertama sampai keempat menunjukkan adanya paralelisme yang menunjuk pada kata ‘mengapa’ dan ‘setelah’. Gaya bahasa ini frekuensi kemunculannya paling banyak yaitu 70 kali.
n. Elipsis
Gaya bahasa berikutnya adalah gaya bahasa elipsis yang merupakan gaya bahasa berwujud penghilangan suatu unsur kalimat yang dengan mudah ditafsirkan pembaca. Gaya bahasa tersebut terdapat pada data berikut ini.
(41) aku cinta kau saat ini
Entah esok hari
Entah lusa nanti
Entah ... (En)
(42) Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri profesor, doktor, insinyur pun jadi (GOB)
(43) terbayang baktimu, terbayang jasamuterbayang jelas… jiwa sederhanamubernisan bangga, berkafan doadari kami yang merindukan orangsepertimu… (BH)
(44) berjalan di situ … di pusat pertokoan
melihat-lihat barang-barang yang jenisnya beraneka ragam
cari apa di sana … pasti tersedia
asal uang di kantong cukup
itu tak ada soal (MYT)
Dari contoh-contoh di atas, terdapat danya penghilangan salah satu unsur dari kata, frase, maupun kalimat. Pada data (41) terdapat adanya penghilangan keterangan tempat atau waktu. Pendengar atau pembaca hanya bisa mereka-reka apa yang akan dikatakan Iwan Fals dalam lirik lagunya. Pada data (42) terdapat adanya penghilangan unsur predikat yaitu kata ‘menciptakan’.
Pada data (43) terdapat adanya penghilangan unsur subjek, yaitu Bung Hatta. Sedangkan, pada data (44) terdapat adanya penghilangan keterangan tempat. Semua contoh-contoh di atas merupakan kata, frase dan kalimat yang belum selesai. Kalimat-kalimat tersebut sengaja tidak diselesaikan oleh penyair agar pembaca atau pendengar menafsirkan sendiri. Apabila pendengar atau pembaca tidak melihat konteks lirik lagu secara keseluruhan, maka akan mengalami kesulitan untuk mengetahui maksud penyair. Gaya bahasa ini jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi keberadaannya tidak dapat diabaikan begitu saja. Frekuensi kemunculan gaya bahasa ini sebanyak 8 kali.
o. Aliterasi
Gaya bahasa selanjutnya adalah aliterasi. Gaya bahasa ini lebih banyak berkaitan dengan efek estetis dan keritmisan bunyi. Kedua hal tersebut dapat lebih memperkuat makna dari ungkapan yang disampaikan penyair. Gaya bahasa aliterasi ini muncul karena adanya pillihan kata yang mempunyai persamaanbunyi, sedangkan kata-kata yang mempunyai persamaan bunyi tersebut sangat besar perannya dalam menciptakan suasana tertentu. Aliterasi ini dapat pula memadatkan arti dan membuat maknanya menjadi lebih intensif. Agar lebih jelas dapat dilihat pada data berikut ini.
(45) dunia politik penuh dengan intrik, kilik sana kilik sini itu sudah wajar
seperti orang adu jangkrik kalau nggak ngilik nggak asik (AGA)
(46) di ujung sana banyak orang kelaparan
ujung lainnya wabah busung menyerang
di sudut sana banyak orang kehilangan
sudut lainnya bayi bertanya bimbang
mama kapan ayah pulang?
mama sebab apa perang? (P1)
(47) cukong kotor, mandor kotor, semua yang kotor (SSSS)
(48) menjilat, menghasut, menindas
memperkosa hak-hak sewajarnya (Sb)
Dari contoh-contoh di atas terlihat bahwa Iwan Fals banyak menggunakan kata-kata yang menggunakan variasi konsonan bersuara k, t, s dan kombinasi bunyi sengau m, n, ng yang membuat tuturan menjadi beraturan dan ritmis. Begitu juga dengan bunyi l dan r. Kombinasi-kombinasi bunyi dalam kalimat-kalimat tersebut mempunyai bunyi musik atau orkestrasi. Suasana yang muram, berat dan gundah tergambar dalam contoh-contoh tersebut. Misalnya pada data (48) terdapat kata-kata ‘menjilat’, ‘menghasut’, dan ‘menindas’, disana terdapat kombinasi konsonan m, n, ng yang fungsinya justru menghalangi kelancaran ucapan, sehingga terlukis suasana yang berat dan tidak menyenangkan.
Frekuensi kemunculan gaya bahasa aliterasi sebanyak 56 kali. Banyaknya aliterasi yang muncul menunjukkan bahwa Iwan Fals ingin memberikan penekanan pada puisinya. Hal itu bertujuan supaya arti kata yang ditangkap pembaca atau pendengar lebih mendalam.
p. Asonansi
Selain gaya bahasa aliterasi, ada pula gaya bahasa yang juga memberikan efek ritmis, yaitu gaya bahasa asonansi. Gaya bahasa asonansi ini berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Asonansi biasanya digunakan pada puisi untuk memperoleh efek penekanan atau sekadar mendapatkan keindahan. Asonansi terdapat pada data berikut ini.
(49) derap pedati sebentar berhenti
tampak si tua sais pedati
mulai membuka bungkusan nasi
yang di bekali sang istri (STSP)
(50) lihat Sugali menari
di lokasi WTS kelas teri
asyik lembur sampai pagi
usai garong hambur uang peduli setan (Sg)
(51) jadilah bunglon jangan sapi
sebab seekor bunglon pandai baca situasi
jadilah karet jangan besi
sebab yang namanya karet tahan kondisi (N2)
(52) wajar saja kalau kuganggu
sampai kapan pun kurindu
lepaskan tawamu nona
agar tak murung dunia (MIBPP)
Pada data di atas terlihat dominasi bunyi vokal dalam pilihan kata yang digunakan oleh Iwan Fals. Hal itu menyebabkan keritmisan dalam lirik lagu tersebut. Gaya bahasa asonansi di atas tampak dari pilihan kata-kata yang memiliki persamaan bunyi. Pemilihan kata-kata yang didominasioleh vokal a dan u menyebabkan kelancaran ucapan, meskipun masih menggambarkan suasana yang berat. Hal itu dapat terlihat pada data (52), yang terdapat kombinasi vokal a dan u. Kata-kata yang didoninasi oleh vokal-vokal tersebut dapat melancarkan ucapan dan menimbulkan irama yang merdu. Kombinasi kedua vokal tersebut menyatakan perasaan yang buruk, sedih, dan murung.
Di samping itu terdapat pula kata-kata yang didominasi oleh vokal i yang dapat memperlancar ucapan, menimbulkan kesan yang ringan, tinggi dan kecil. Hal tersebut tampak pada data (49), (50), dan (51). Data-data itu memberi contoh yang ringan, tetapi bila dikaji lebih dalam, mengandung kesan semantis yang berat dan muram. Frekuensi kemunculan gaya bahasa ini sebanyak 63.
q. Anafora
Gaya bahasa anafora merupakan gaya bahasa perulangan kata pertama pada setiap baris atau kalimat. Pada berikut ini terdapat penggunaan gaya bahasa anafora.
(53) apakah ini karma?
apakah ini dosa turunan?
apakah ini upah dari kebodohan? (MBDB)
(54) nusantara ... langitmu saksi kelabu
nusantara ... terdengar lagi tangismu
nusantara ... dan simpan kisah kereta
nusantara ... kabarkan marah sang duka (1910)
(55) meskipun kurang paham tentang radiasi
meskipun kurang paham tentang uranium
meskipun kurang paham tentang plutonium
ku tahu radioaktif panjang usia (P13)
(56) kerbau di kepalaku ada yang suci
kerbau di kepalamu sedang bekerja
kerbau di sini teman petani (Ci)
Pada data-data di atas, dapat dilihat bahwa awal baris kedua dan baris selanjutnya merupakan perulangan baris pertama. Pada data (53) terdapat perulangan kata ‘apakah’. Begitu pula pada data (54) terdapat perulangan kata ‘nusantara’. Pada data (55) terdapat perulangan kata ‘meskipun’. Perulangan kata juga terdapat pada data (56), yaitu kata ‘kerbau’. Frekuensi kemunculan gaya bahasa ini sebanyak 34 buah.
r. Epizeukis
Gaya bahasa epizeukis merupakan gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung, yaitu kata yang ditekankan atau yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Penggunaan gaya bahasa epizeukis terdapat pada data berikut.
(57) bayi, bayi, bayi, murni dan kosong (Ci)
(58) bayi, bayi, bayi, bayi harimau (Ci)
(59) bayi, bayi, bayi, yang berkalung sanca (Ci)
(60) bayi, bayi, bayi, yang disusui kerbau (Ci)
Pada data-data di atas, dapat dilihat terdapat adanya perulangan secara berturut-turut, yaitu kata ‘bayi’ yang diulang secara berturut-turut. Gaya bahasa apizeukis dalam lirik lagu ciptaan Iwan Fals hanya dapat ditemukan dalam lirik lagu yang berjudul Cikal. Namun, dalam lirik lagu tersebut bait yang terdapat gaya bahasa epizeukis dibedakan menjadi empat baris. Frekuensi kemunculan gaya bahasa ini sebanyak 4 kali.
Data mengenai jenis-jenis gaya bahasa pada lirik lagu ciptaan Iwan Fals disajikan secara lengkap pada penjelasan berikut ini.
E. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik simpulan, yaitu: jenis-jenis gaya bahasa yang terdapat pada lirik lagu ciptaan Iwan Fals terdiri atas delapan belas jenis, yaitu: gaya bahasa paralelisme sebanyak 70 buah atau 18,86 %, asonansi sebanyak 63 buah atau 16,98 %, aliterasi sebanyak 56 buah atau 15,09 %, anafora sebanyak 34 buah atau 9,16 %, hiperbola sebanyak 30 buah atau 8,08%, personifikasi sebanyak 26 buah atau 7,08 %, simile sebanyak 22 buah atau 5,93 %, metafora sebanyak 16 buah atau 4,31 %, metonimia sebanyak 15 buah atau 4,04 %, ironi sebanyak 11 buah atau 2,96 %, elipsis sebanyak 8 buah atau 2,16 %, sinekdoke sebanyak 8 buah atau 2,16 %, epizeukis sebanyak 4 buah atau 1,08 %, klimaks sebanyak 3 buah atau 0,81 %, anti klimaks sebanyak 2 buah atau 0,11 %, alegori sebanyak 1 buah atau 0,27 %, oksimoron sebanyak 1 buah atau 0,27 %, dan paradoks sebanyak 1 buah atau 0,27 %. Iwan Fals lebih banyak menggunakan gaya bahasa paralelisme karena lirik lagu Iwan Fals merupakan potret keadaan masyarakat Indonesia dan berdasarkan kenyataan hidup. Selain itu, Iwan Fals bertujuan memberikan efek semangat dan kesungguhan dari lirik lagu yang ditulisnya. Iwan Fals juga banyak menggunakan gaya bahasa asonansi, karena Iwan Fals ingin memperoleh nilai estetis pada lirik lagunya tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mukhyi. 2003. Iwan Fals Tak Tahu Kapan Kisah Ini Akan Berakhir. Bandung: Your Dreamer Publish.
Andi Sudiman. 2007. Majas. http://id.andisudiman.org/ /Majas. Diakses pada tanggal 12 November 2008 pukul 09. 30 WIB.
Atar Semi. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Burhan Nurgiyantoro. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Dian Putra. 2007. Iwan Fals: Ia Tetap Berdiri Ketika yang Lain Merunduk. http://iwan-fals.blogspot.com/2007/08/iwan-fals-ia-tetap-berdiri-ketika-yang.html. Diakses pada tanggal 13 November 2008 pukul 11.44 WIB.
Dick Hartoko dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Gorys Keraf. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Henry Guntur Tarigan. 1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Herman J. Waluyo. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
_______________. 2003. Teori dan Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Lexy J. Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nani Tuloli, H. 1999. Peranan Sastra dalam Masyarakat Modern. (Editor: Hasan Alwi dan Dendy Sugono). Telaah Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa
Panjalu.2007.http://panjalu.multiply.com/journal/item/20/Iwan_Fals_Sederhana_dan_Kharismatik. Diakses pada tanggal 13 November 2008 pukul 12.57 WIB.
Rachmad Djoko Pradopo. 1997. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Siswantoro. 2002. Apresiasi Puisi-puisi Sastra Inggris. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Suminto A. Sayuti. 1985. Puisi dan Pengajarannya. Semarang: IKIP Semarang Press.
_____________. 2006. Sastra Multikultural dan Pengajaran Sastra (Makalah), disampaikan dalam Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra I (Konnas Basastra), 2 September 2006, FKIP Universitas Sebelas Maret.
Sutopo, H. B.. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Suyitno. 2002. Apresiasi Puisi dan Prosa (BPK FKIP UNS). Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret.
Wahyu Rosadi. 2006. Majas/Gaya Bahasa dalam Bahasa Indonesia. http://organisasi.org/rosadi//. Diakses pada tanggal 12 November 2007 pukul 05.14.
pusing baca artikelnya.
BalasHapuspusing baca artikelnya.
BalasHapus